Month: Januari 2012

Tempat yang paling sulit untuk menjadi seorang binman

Posted on Updated on


Seorang Binmen dari London mencoba bekerja sebagai pemungut sampah di Jalanan Kota Jakarta

Jakarta dan daerah metropolitan sekitarnya adalah rumah bagi 28 juta orang, dan sebuah kota Indonesia sedang berjuang untuk mengatasi semua sampah yang dihasilkannya. Bagaimana rasanya untuk Wilbur Ramirez binman dari London  ini?
Setiap hari segera setelah matahari terbit, Imam Syaffi siap dengan gerobak yang ditarik dengan kedua tangannya untuk mengumpulkan sampah-sampah dari beberapa rumah di beberapa pemukiman di Jakarta.

Dengan teriakan ceria nya “Sampa!” (Sampah), ia membiarkan warga di perumahan itu tahu bahwa ia telah tiba.

Rumah-rumah yang luas dan jalan-jalan rimbun di daerah Guntur, dekat dengan daerah aktifitas ekonomi kontras dengan kondisi sempit di tempat lain di Jakarta di mana jutaan orang hidup dalam kemiskinan.

Di Guntur, rumah-rumah berdinding memiliki halaman atau bahkan kebun dengan pohon-pohon kelapa atau tanaman yang terawat.

Jika Anda ingin sampah anda dikumpulkan oleh tukang sampah di Jakarta ini, Anda harus membayar untuk itu. Hanya orang-orang  kaya seperti di Guntur ini  mampu membayar seorang tukang sampah.

Sementara beberapa pelanggan Imam hanya memungkus sampah mereka dengan kantung pastik, dan hanya membuangnya di sebuah lubang di dinding taman. Imam membersihkan dengan garu dan sapu. Dia harus memersihkannya karena takut akan komplain dari pelanggannya tersebut.

Hampir tidak ada yang memisahkan sampah tersebut untuk program daur ulang. Limbah rumah tangga, makanan, plastik dan batang tanaman semua berakhir di dalam satu kantong plastik dan sang Petugas Sampah itu kembali bekerja di panas terik.

Saluran terbuka

Keranjang Imam adalah ukuran bak mandi besar, tetapi tiga kali lebih tinggi. Dia telah menginjak-injak untuk memadatkannya agar dapat muat sampah sebanyak mungkin.

“Imam bekerja keras dua kali lipat,” kata tukang sampah London Wilbur Ramirez, terengah-engah dalam kekaguman, keringat mengalir dari keningnya.

Ini adalah hari pertama Wilbur dari 10 hari yang akan ia jalani bersama Imam, untuk merasakan kehidupan seorang pengumpul sampah Jakarta. Dia telah meninggalkan London dengan hi-tech nya, mobil sampah ber-AC  dan tim binmen-nya 7.000 mil jauhnya untuk bergabung dengan binmen Imam menyusuri jalanan Jakarta.

“Ini merupakan hari yang teramant berat dan aku bahkan tidak berpikir akan melakukannya sehari penuh, saya sudah menjalani dua dari tiga putaran dan nampaknya aku sedang sekarat.”

Hari hari biasanya, Imam mengisi gerobak tiga kali, mendorong kembali setiap kali untuk mengosongkan gerobaknya itu di ujung terbuka di samping deretan gubuk di mana banyak tinggal para pengumpul sampah.

Imam mengumpulkan sampah dari hampir 100 rumah, dibayar oleh asosiasi penduduk setempat ‘. Selama seminggu enam hari kerja ia memperoleh 200.000 Indonesian Rupiah ($ 22 atau £ 14).

“Pekerjaan ini lebih banyak menuntut fisik dari yang saya duga,” kata Wilbur.”Gerobak  ini beratnya satu ton dan biasanya didorong hanya oleh satu orang dan Hari ini kami lakukan berdua dan aku berkeringat seperti babi.”

Biasanya tidak hanya sampah yang menjadi tugas Imam. Saluran drainase terbuka yang berada  di luar rumah pelanggannya sering mampet yang disebabkan oleh sampah yang menumpuk di got. Satu-satunya cara baginya agar saluran air tetap mengalir, maka ia harus masuk ke dalam parit dan membersihkannya.

Lokasi Pembuangan sampah raksasa Bantar Gebang, menampug sampah dari kota Jakarta

“Orang itu di sini dengan kaki telanjang,” kata Wilbur, ngeri. “Ada kaca, ada segala sesuatu di sana kaki pria ini harus seperti kulit badak..”

Pekerjaan sebagai binman yang dibayar adalah dihargai, karena hanya ada  3.000 orang yg berprofesi seperti mereka di seluruh kota.

Imam mencemaskan kelanjutan pekerjaannya karena  hanya dengan satu pegaduan dari salah seorang warga maka ia bisa dipecat. “Jika perintah kepada Imam itu tidak dilakukan, mereka telepon Ketua RW ‘. Ada banyak orang lain yang membutuhkan pekerjaan,” katanya.

“Aku takut apa yang akan terjadi jika saya dipecat Apa yang akan istri saya dan anak makan?.”

Setelah menyelesaikan putaran dalam mengumpulkan sampah, Imam masih memiliki jam kerja yang lebih. Uang yang ia terima dari mengumpulkan sampah hampir tidak bisa untuk membayar sewa di rumah yang kecil sehingga Imam dan keluarganya memulai pekerjaan kedua mereka -“daur ulang”.

Dari limbah yang dikumpulkan pada siang hari, mereka memilih sesuatu yang berharga dan semacam itu ke dalam tumpukan kantung terpisah yang kemudian mereka akan menjualnya. Mereka bekerja larut malam memilah sampah.

Tiga malam menyortir sampah keluarga ini mendapatkan 28.000 rupiah, sekitar $ 3. Untuk Imam dan keluarganya uang ini adalah perbedaan antara makan dan tidak makan.

Nasib Imam adalah jauh lebih baik daripada beberapa rekan kerjanya. Pada TPA raksasa Jakarta, Bantar Gebang, beberapa ribu orang mencari nafkah hanya dari mengais-ngais.

Sebagian besar limbah Jakarta, sekitar 6.000 ton per hari, berakhir di ujung raksasa ini termasuk limbah dari putaran Imam.

Tetapi banyak sampah kota – hampir 20% – hanya dibuang di sungai yang melintas di kota. Departemen sanitasi kota menarik sampah dari saluran air tetapi tidak bisa tertangani semua.

Imam mengundurkan diri untuk hidup sebagai seorang binman. “Meskipun ini sulit, saya harus melakukannya, karena saya tidak punya keahlian lain saya akan melakukan pekerjaan apapun untuk keluarga saya..”

Tapi ia dan istrinya Windi berharap masa depan yang lebih baik, terutama untuk anak muda mereka.

“Kami tidak punya uang banyak, tapi aku masih senang karena suami saya bekerja keras untuk merawat saya dan anak saya,” kata Windi.

“Meskipun dia bekerja dengan sampah, ia pantas diperlakukan dengan hormat Dia mungkin seorang pria sampah tapi Ia masih seorang manusia.”

sumber : http://www.bbc.co.uk/news/magazine-16722186